The Third Way: Prinsip terkait Proses Belajar dan Eksperimen yang Berkelanjutan

  • IntialBoard
  • Jan 03, 2023
The Third Way

Setelah belajar tentang The First Way dan The Second Way, kini waktunya kita memahami The Third Way, yakni prinsip terkait proses belajar dan eksperimen yang berkelanjutan. Prinsip ini menjelaskan tentang cara memupuk kultur untuk mendorong proses belajar dan eksperimen yang berkelanjutan.

Selain itu, prinsip ini juga membenamkan pemahaman bahwa cara untuk menguasai sesuatu adalah melalui pengulangan dan berlatih terus-menerus.

Prinsip terkait Proses Belajar dan Eksperimen yang Berkelanjutan

The Third Way memungkinkan penciptaan pengetahuan individu secara konstan, yang kemudian diubah menjadi pengetahuan tim dan perusahaan.

Mari sedikit bercerita. Dalam operasi manufaktur dengan masalah kualitas dan keselamatan yang sistemik, suatu “pekerjaan” biasanya didefinisikan dan dikerjakan secara kaku. Sebagai contoh, para pekerja tidak bebas (atau bahkan tidak bisa) melakukan inisiatif perubahan atau perbaikan ke dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Mereka harus patuh dengan apa yang sudah dituliskan di aturan.

Di lingkungan seperti ini, para pekerja acapkali memiliki rasa takut dan punya kepercayaan diri yang rendah. Bagaimana tidak? Pekerja yang melakukan kesalahan akan dihukum, dan mereka yang memberi saran dipandang sebagai pembuat onar. Dalam hal ini, pemimpin mereka menanamkan kultur yang menekan (bahkan menghukum) siapa saja yang menyimpang dari aturan, meski tujuannya untuk perbaikan.

Namun, ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada operasi manufaktur yang berkualitas dan berkemajuan, di mana justru mereka memerlukan dan secara aktif mendorong proses belajar. Suatu pekerjaan tidak didefinisikan secara kaku, melainkan bersifat dinamis. Para pekerja didorong untuk bereksperimen dalam pekerjaan sehari-hari mereka guna menghasilkan peningkatan dan perbaikan, tetapi tetap mengikuti standarisasi prosedur kerja yang ketat dan pendokumentasian hasil kerja.

Di dunia IT, kita pun mesti melakukan hal yang sama. Kita perlu menciptakan kultur yang mampu meningkatkan rasa saling percaya, yang menegaskan bahwa kita semua adalah sejatinya seorang “pelajar” seumur hidup yang mau tak mau memang harus mengambil risiko dalam aktivitas dan pekerjaan kita sehari-hari.

Tentu kita semua tahu bahwasanya eksperimen yang dilakukan terus-menerus bukanlah hal yang mudah untuk dilestarikan sebab membutuhkan keberanian dalam pengambilan risiko dan kelapangan hati dalam belajar (baik jika berhasil maupun gagal).

Proses pengambilan risiko biasanya adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari oleh bisnis. Namun sebaliknya, justru eksperimen dan pengambilan risiko adalah hal yang bagus bagi IT karena memungkinkan kita untuk senantiasa meningkatkan sistem kerja.

Proses eksperimen ini sering kali mengharuskan tim untuk berani melakukan hal-hal di luar kebiasaan mereka selama ini. Ini merupakan hal yang bagus. Pasalnya, ketika terjadi kesalahan atau kegagalan, tim bisa memperbaikinya dan belajar dari kesalahan/kegagalan tersebut.

Dengan begitu, ke depannya tim bisa lebih cekatan dalam mengembangkan aplikasi dan terhindar dari kegagalan yang berulang. Selain itu, bila seandainya terjadi kesalahan yang tak diinginkan, tim akan mengerti apa yang harus dilakukan dan memitigasi agar kegagalan tersebut tidak terulang kembali.

Jika mampu menerapkan The First Way dan The Second Way, kelak kita akan lebih berani dalam mengambil risiko. Sebabnya, kita tahu bahwa risikonya takkan terlalu besar (mengingat kita memiliki skala batch pekerjaan yang kecil) dan akan mendapatkan feedback cepat mengenai pekerjaan yang kita lakukan.

Apabila kita sudah terbiasa melakukan eksperimen dan belajar dari kesalahan, terciptalah kultur untuk selalu ingin berinovasi dan berani dalam mengambil risiko. Dengan menerapkan pendekatan semacam ini, kita akan senantiasa belajar dari keberhasilan dan kegagalan, seraya mengidentifikasi sekiranya mana ide yang gagal dan mana ide yang berhasil sehingga perlu diperkuat.

Setiap proses belajar dan eksperimen yang dilakukan secara mandiri, pada akhirnya dapat diadopsi ke cakupan yang lebih luas. Dengan demikian, teknik dan praktik baru dapat diterapkan di seluruh organisasi atau perusahaan.

Nah, agar hal tersebut bisa terwujud, ada beberapa poin penting yang wajib kita pahami. Mari kita kupas satu per satu.

Menghidupkan Organizational Learning

Ketika kita mengerjakan sebuah sistem yang kompleks, rasanya mustahil untuk benar-benar bisa memprediksi hasil dari setiap tindakan yang kita ambil. Akan tetapi, justru itulah yang berpotensi untuk mengakibatkan peristiwa atau insiden yang tak diinginkan. Percaya atau tidak, hal-hal yang tak terduga acapkali terjadi, meskipun kita telah melakukan tindakan pencegahan semaksimal mungkin dan bekerja dengan hati-hati.

Masalah bisa muncul kapan pun dan sering kali dianggap sebagai kesalahan manusia. Sayangnya, pihak manajemen perusahaan terkadang merespons dengan berlebihan, seperti menyalahkan dan mempermalukan “si pembuat masalah”, bahkan hingga menghukumnya.

Ilustrasi Organizational Learning

Kemudian, untuk mencegah masalah yang sama terulang kembali, mereka membuat lebih banyak aturan dan birokrasi (misal, meminta persetujuan manajemen) dalam bekerja.

Sistem kerja seperti ini malah meningkatkan rasa takut di benak pegawai dan membuat perusahaan terasa sangat birokratis. Padahal, seharusnya perusahaan menyosialisasikan dan mendorong pegawai agar lebih berhati-hati dalam bekerja, terutama dalam pekerjaan yang bersifat kritis.

Isu-isu semacam ini terus menjadi masalah utama dalam bidang IT sebab pekerjaannya hampir selalu dilakukan dalam sistem yang kompleks. Karena pegawai sudah dihantui oleh rasa takut bila berbuat salah, akibatnya masalah-masalah yang terjadi tak kunjung dilaporkan dan tetap tersembunyi sehingga pada akhirnya masalah yang lebih besar pun terjadi.

Lantas, bagaimana solusinya? Oke, sebelum ke sana, pahamilah terlebih dahulu bahwa menurut Dr. Ron Westrum (salah satu yang pertama mengamati pentingnya budaya organisasi pada keselamatan dan kinerja) ada 3 tipe kultur perusahaan, antara lain:

Perusahaan patologis, dicirikan oleh rasa takut yang menjalar di antara pegawai. Pegawai sering kali menahan informasi (baik kabar baik maupun buruk), entah karena alasan persaingan ataupun takut akan hukuman. Ini menyebabkan suatu masalah acapkali tersembunyi.

Perusahaan birokrasi, identik penuh dengan aturan dan proses berbelit. Jika terjadi masalah atau kegagalan, ia akan diproses melalui sistem penilaian, yang mana pada akhirnya akan menghasilkan hukuman atau justru pengampunan.

Perusahaan generatif, ciri-cirinya adalah aktif dalam mencari dan berbagi informasi agar perusahaan bisa lebih mudah dalam mencapai misinya. Tanggung jawab suatu pekerjaan atau proyek biasanya terbagi di seluruh perusahaan. Apabila terjadi suatu masalah atau kegagalan, perusahaan akan melakukan refleksi dan menyelidiki akar masalahnya, bukan orangnya.

Nah, dari uraian di atas, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa penting untuk membangun fondasi kultur perusahaan yang generatif dengan berupaya menciptakan sistem kerja yang aman. Ketika masalah terjadi, alih-alih mencari-cari kesalahan dari sisi manusianya, kita justru harus fokus ke akar permasalahannya dan memikirkan bagaimana agar sistem dapat didesain ulang guna mencegah hal yang sama terjadi lagi.

Sebagai contoh, kita bisa melakukan analisis dan evaluasi mendalam setiap kali suatu insiden terjadi guna mendapatkan pemahaman tentang bagaimana masalah bisa terjadi. Kemudian, kita berunding dan menyepakati seperti apa tindakan penanggulangannya sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan sistem, mencegah masalah terjadi lagi, dan memungkinkan deteksi masalah dan pemulihan yang lebih cepat.

Dengan melakukan ini, itu artinya kita menciptakan dan menghidupkan organizational learning alias pembelajaran organisasi/perusahaan. Bethany Macri, seorang insinyur di Etsy menyatakan, “Dengan menghilangkan budaya saling menyalahkan, Anda menghilangkan rasa takut; dengan menghilangkan rasa takut, Anda mengaktifkan kejujuran; dan kejujuran memungkinkan pencegahan.”

Jadi, dengan kita menghilangkah budaya saling menyalahkan dan menggantikannya dengan organizational learning, perusahaan bisa menjadi lebih giat dalam mendiagnosis dan memperbaiki diri sendiri, serta terampil dalam mendeteksi masalah dan memecahkannya.

Pada akhirnya, ini akan membantu pengguna, meningkatkan kualitas aplikasi, menciptakan keunggulan yang kompetitif, serta menghadirkan tenaga kerja yang bersemangat dan berkomitmen dalam mengungkap kebenaran.

Memperbaiki Pekerjaan Sehari-hari

Tim (baik Developer maupun IT Operations) sering kali tak mampu–atau mungkin tidak mau–memperbaiki proses kerja yang selama ini mereka lakukan sehari-hari. Ada banyak alasannya, entah karena sudah terlalu nyaman atau memang terlalu rumit untuk mengubah proses kerja yang sudah ada. Alhasil, bukan hanya mereka terus menghadapi masalah yang sama, tetapi masalah tersebut juga bertambah buruk dari waktu ke waktu.

Ketika kita tak kunjung memperbaiki masalah dan malah sekadar menghindarinya dengan mengandalkan suatu alternatif, masalah yang ada akan kian menumpuk. Pada akhirnya, semua yang kita lakukan hanyalah terus mencari alternatif dan menghindari masalah tanpa tersisa waktu untuk melakukan pekerjaan yang produktif. Padahal, yang lebih penting daripada melakukan pekerjaan sehari-hari adalah melakukan perbaikan/peningkatan pada pekerjaan sehari-hari.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan pekerjaan sehari-hari, seperti menyisihkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat dieksekusi, membetulkan bug, serta me-refactor dan memperbaiki kode-kode yang berpotensi menimbulkan masalah.

Dengan mengimplementasikan praktik-praktik tersebut, setiap orang bisa secara langsung memperbaiki masalah sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari mereka. Tak payah menunggu berhari-hari hanya untuk menanti persetujuan dari atasan dalam memperbaiki kode.

Jika kita bisa mengatasi masalah yang ada pada pekerjaan sehari-hari, niscaya ke depannya kita pun bisa memperbaiki berbagai masalah yang muncul pada sistem aplikasi yang kompleks.

Mengubah Pengetahuan Lokal Menjadi Perbaikan Global

Ketika suatu pengetahuan ditemukan secara lokal (misal, berada di cakupan tim), maka perlu adanya mekanisme yang memungkinkan global (misal, seisi perusahaan) juga menggunakan dan mengambil manfaat dari pengetahuan tersebut sebagai upaya untuk melakukan perbaikan.

Dengan kata lain, saat sebuah tim atau individu mendapatkan pengetahuan atau keterampilan baru, kita perlu menyebarkannya ke seantero perusahaan (misal, dengan mendokumentasikannya secara tertulis) sehingga diharapkan bisa menjadi keahlian baru pula bagi orang lain. Praktik semacam ini berguna untuk memastikan bahwa ketika seseorang melakukan pekerjaan serupa, mereka bisa melakukannya persis seperti orang-orang yang sudah berpengalaman.

Contoh luar biasa dari mengubah pengetahuan lokal menjadi perbaikan global adalah US Navy’s Nuclear Power Propulsion Program (juga dikenal sebagai “NR” atau “Naval Reactors”), yang memiliki banyak reaktor nuklir tanpa satu pun korban yang berkaitan dengan reaktor seperti radiasi.

NR dikenal karena komitmennya yang kuat terhadap prosedur tertulis dan pekerjaan yang terstandardisasi. Setiap penyimpangan prosedur yang terjadi akan ditulis dan dikumpulkan ke dalam laporan insiden sebagai bahan pembelajaran. Mereka akan terus memperbarui prosedur dan rancangan sistem berdasarkan temuan dari laporan insiden tersebut supaya ke depannya mereka bisa mendeteksi setiap potensi kegagalan.

Hasilnya, ketika kru baru (new crew) berangkat ke penempatan pertama mereka di laut lepas, mereka akan merasa termudahkan dan mendapatkan manfaat dari laporan insiden karena semua hal sudah terdokumentasikan secara rapi terkait reaktor nuklir. Yang sama mengesankannya adalah bahwa pengalaman mereka sendiri pun nantinya akan ditambahkan ke laporan tersebut sehingga dapat membantu kru di masa depan dalam melakukan pekerjaan mereka dengan aman.

Hal yang sama pun berlaku di dunia IT, terutama DevOps. Kita harus membuat mekanisme serupa untuk menciptakan pengetahuan global, seperti menyusun laporan post-mortem (laporan yang ditulis pada akhir proyek untuk menentukan dan menganalisis unsur-unsur proyek yang berhasil atau tidak berhasil dan menjadikannya sebagai sebagai pelajaran) dan membuatnya lebih mudah dicari dan ditemukan oleh tim yang tengah memecahkan masalah serupa. Contoh lainnya adalah dengan membuat repositori kode bersama yang menjangkau seisi perusahaan agar kode, library, dan konfigurasi dapat dengan mudah digunakan oleh semua orang.

Semoga Anda paham ya mengenai The Third Way. Intinya, prinsip ini membahas tentang kebutuhan untuk menciptakan kultur belajar di perusahaan, memungkinkan rasa saling percaya yang tinggi, menerima bahwa kegagalan akan selalu terjadi kapan pun dan di mana pun, dan menciptakan sistem kerja yang aman.

Meskipun memupuk kultur untuk belajar dan bereksperimen terus-menerus adalah prinsip dari The Third Way, hal itu juga terjalin ke dalam The First Way dan The Second Way. Dengan kata lain, meningkatkan alur kerja dan umpan balik pun memerlukan pendekatan iteratif yang mencakup pemahaman terhadap target yang ingin dicapai, identifikasi apa saja yang akan membantu kita dalam mencapainya, merancang dan melakukan eksperimen, serta mengevaluasi hasilnya.

Tak hanya mendatangkan kinerja yang lebih baik, tetapi juga pengoptimalan ketahanan pada sistem, kepuasan kerja yang lebih tinggi pada pegawai, dan peningkatan kemampuan beradaptasi pada perusahaan.

Lanjutkan Ke :  CALMS Framework : Measurement

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *